The Future is ASI(E)AN: The Rise of Hustle Culture (Tanggapan atas Esai Dekolonisasi Mitos Kemalasan oleh H.P. Utomo)

Christianty Dian
4 min readOct 17, 2021

Dalam esai Dekolonisasi Mitos Kemalasan tulisan Hartmantyo P. Utomo yang diterbitkan oleh website LSF Cogito pada 11 Oktober 2021, hal pertama yang mengganggu benak saya adalah tahun terbit dari buku yang digunakan. Buku “Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial” karya S.H. Alatas diterbitkan pada tahun 1988 yang berarti sudah hampir 3 dekade yang lalu. Adapun, buku pertama diterbitkan pada tahun 1977. Alasannya, selama saya kuliah, saya selalu didoktrin bahwa pemilihan referensi maksimal menggunakan pustaka yang terbit 5 tahun belakangan untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun, menjadi menarik ketika mitos kemalasan yang dibahas dalam buku tersebut masih relevan hingga sekarang.

Mitos kemalasan yang dimaksud dalam tulisan Alatas dan Utomo, saya temukan masih tumbuh subur di kalangan masyarakat Jawa, Melayu, dan Filipina. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya mencoba menambahkan perspektif lain sebagai pelaku yang menganggap mitos kemalasan tersebut sebagai stereotype sahih dari masyarakat Melayu atau Indonesia terutama, yang saya ketahui. Ada enam unsur kemalasan yang dikutip dari buku Mitos Kemalasan oleh Utomo, antara lain:

1. tidak ada kecintaan dalam bekerja;

2. tidak ada kemauan untuk bekerja;

3. tidak ada kekuatan atau semangat yang terwujud dalam suatu usaha;

4. tidak memperhatikan hasil dari suatu usaha;

5. tidak memedulikan keuntungan dari suatu usaha;

6. tidak memperhatikan kebutuhan yang mendorong usaha tersebut.

Dari keenam unsur di atas, saya menemukan beberapa ciri pada masyarakat Indonesia secara spesifik, seperti di desa tertinggal dan daerah dengan latar belakang sosial tertentu yang membuat saya berpikir bahwa budaya dan keadaan alam menyuburkan budaya malas tersebut. Namun, hal tersebut tentunya tidak dapat digeneralisir untuk seluruh warga Indonesia. Saya pun setuju dengan pendapat Hartmantyo bahwa unsur-unsur tersebut dilandasi pada definisi kerja kolonial yang ”memosisikan unsur kemalasan sebagai kolonisasi hakikat subjektif (beings) pada dimensi negatif”.

Akan tetapi, saat ini yang saya lihat narasi mengenai kemalasan, termasuk pendapat saya pribadi sebelumnya, tidak hanya berdasarkan pembanding dari ekonomi kapitalis negara Eropa seperti pada masa penjajahan, tetapi dari negara Asia sendiri, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Saat ini, kekuatan ekonomi dunia sudah bergeser dari AS ke Tiongkok. Sebelumnya, Jepang mengalami economic miracle pada tahun 1980 dan mampu mengejar AS dalam hal kekuatan ekonomi. Hal ini merupakan simbol munculnya negara-negara Timur sebagai kekuatan ekonomi. Dari region Asia Tenggara sendiri, ada Singapura yang menjadi salah satu negara maju di dunia.

Hal ini sejalan dengan pendapat Parag Khanna dalam bukunya yang berjudul “The Future is Asian” yang terbit pada tahun 2019. Judul buku ini kemudian menginspirasi saya untuk menulis The Future is ASEAN karena saat ini tengah membahas region Asia Tenggara dan bagaimana Singapura serta Vietnam menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan global. Adapun, konteks dari pemilihan buku ini dalam tanggapan terhadap esai “Dekolonisasi Mitos Kemalasan” karya H.P. Utomo adalah bahwa saat ini terjadi major geopolitical shift ke negara-negara Asia yang kemudian merekonstruksi mitos kemalasan ke dalam perspektif negara adigdaya Asia. Khanna memulai penjelasan pada bukunya dengan menjabarkan terlebih dahulu mengenai sejarah Asia dan kebangkitan setelah dominasi Barat atau Eropa. Khanna pun menekankan bahwa Asia sangat luas, mulai dari Arab Saudi, Iran, Russia, Tiongkok, Singapura, Vietnam dan Indonesia (dengan porsi tidak terlalu signifikan).

Dari penjelasan Khanna tersebut, ada ketimpangan dari kemajuan yang disebutkan oleh Khanna dalam bukunya. Khanna berfokus pada tiga negara Asia Besar, yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Salah satu pembahasan yang banyak disinggung dalam karyanya adalah Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi oleh Pemerintah Tiongkok. Hal ini juga mencerminkan adanya ketimpangan di antara negara-negara di Asia dimana kemudian Pemerintah Tiongkok memberi investasi dana berupa hutang kepada negara-negara dengan ekonomi yang lebih lemah.

Adanya pergeseran power axis dari Eropa ke Asia, khususnya Tiongkok membuat negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang merupakan middle-income country, mengadopsi nilai-nilai etos kerja Tiongkok yang kemudian menyuburkan sistem hustle culture. Istilah hustle culture mencerminkan budaya kerja keras untuk mencapai kesuksesan. Akhirnya, terdapat pergeseran makna yang menggambarkan posisi kemalasan pada posisi yang baru, yaitu sumber dari kemiskinan.

Di akhir esai, Hartmantyo menulis mengenai posisi buku Mitos Pribumi Malas “sebagai konteks untuk menghadirkan epistemologi antikolonial yang dibingkai dalam nalar solidaritas bagi Asia Tenggara.” Namun sekarang, wacana antikolonial tersebut bisa jadi tidak lagi relevan dengan adanya perkembangan hustle culture dan munculnya Asia sebagai kekuatan baru dunia. Meski demikian, apa yang disampaikan Utomo mampu menyajikan diskusi baru terhadap isu yang mungkin sudah tertidur lama dan dikemas dengan perspektif kebaruan global south serta kawasan Asia Tenggara.

Sebagai penutup, kita sebagai warga negara yang disebut dalam buku Alatas, apakah mampu keluar dari mitos kemalasan, tetapi tidak terjebak ke dalam sistem hustle culture yang saat ini berkembang? Selain itu, mampukah kita untuk tidak menilai kesuksesan sekedar dari pencapaian ekonomi, tetapi mengorbankan well-being dari para pekerja dan masyarakat seperti yang terjadi pada negara-negara Asia yang mengalami economic miracle, seperti Jepang?

Akhir kata, semoga “the future is ASEAN” bukan berarti terjebak ke dalam mitos kemalasan dan hustle culture yang lebih dalam di mana kemiskinan diterjemahkan secara sempit sebagai akibat dari kemalasan.

--

--