Race and Discrimination: Bagaimana Stereotype dan Prasangka Muncul Akibat Ketimpangan Informasi

Christianty Dian
4 min readOct 19, 2021

Judul Buku : “Studi Masyarakat Indonesia”

Pengarang : Eko Handoyo et al.

Penerbit : Penerbit Ombak

Tahun terbit : 2015

Tulisan ini adalah ulasan disertai opini pribadi terhadap buku “Studi Masyarakat Indonesia” (2015) karya Eko Handoyo et al. Alasan saya memilih buku ini adalah karena selama ini kita lebih sering mendengar kajian diskriminasi terhadap orang kulit hitam atau orang Afrika di Amerika Serikat atau Eropa. Namun, ternyata diskriminasi tersebut juga ada di Asia, khususnya Indonesia, seperti yang akan saya ceritakan selanjutnya berdasarkan pengalaman pribadi. Buku ini membantu saya untuk melihat mengenai diskriminasi masyarakat Indonesia terhadap orang Afrika dari sisi masyarakat Indonesia secara sosiologis.

Masyarakat Indonesia dan Diskriminasi

Berdasarkan buku “Studi Masyarakat Indonesia” (2015) karya Eko Handoyo et al., masyarakat Indonesia yang multikultural memiliki tantangan dalam meminimalisir konflik dan pertentangan. Handoyo juga menekankan (hlm. 5) bahwa telah ada literatur yang menjelaskan asal mula nama “Indonesia”. Namun, belum ada definisi yang jelas mengenai apa dan bagaimana masyarakat “Indonesia”. Ditulis oleh Handoyo et al, sejauh ini, masyarakat Indonesia dianggap sama dengan istilah “Warga Negara Indonesia” yang telah tercantum dalam UU №62 Tahun 1958 juncto UU №12 Tahun 2006.

Meski demikian, apakah istilah “masyarakat Indonesia” atau “Warga Negara Indonesia” mampu menyatukan seluruh suku bangsa yang beragam dan menghilangkan diskriminasi? Handoyo et al (hlm. 54) menyatakan bahwa selama ada golongan mayoritas, maka akan ada kecenderungan terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Hal ini juga berlaku di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat atau Jepang. Hal ini menjadikan diskriminasi sebagai permasalahan dunia dan PBB menciptakan The Principle of Equality and Non-Discrimination.

Diskriminasi Orang Indonesia terhadap Orang Afrika

Diskriminasi memang bisa terjadi di mana saja dan dilakukan oleh siapa saja selama kelompok mayoritas masih ingin mempertahankan influence atau kekuasaannya. Di Indonesia, isu SARA atau diskriminasi terhadap Suku, Agama, dan Ras kepada sesama masyarakat Indonesia masih cukup sering ditemukan. Hal ini seperti yang dituliskan oleh Handoyo et al. mengenai diskriminasi terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa, suku Buton, suku Bugis, dan sebagainya di daerah tertentu di Indonesia. Namun, dalam tulisan ini, saya juga ingin menambahkan diskriminasi masyarakat Indonesia terhadap orang Afrika menurut pengalaman saya.

Diskriminasi tersebut bermula ketika saya mendapat penugasan di Afrika, tepatnya Senegal di Afrika Barat. Banyak dari teman saya yang membayangkan Afrika sebagai tempat yang tertinggal, barbar, bencana, kelaparan, dan tingkat kriminalitas tinggi. Sesuai dengan buku Handoyo et al., diskriminasi terjadi karena adanya stereotype dan prasangka. Stereotype bahwa masyarakat Afrika terbelakang dalam hal pembangunan dan kelaparan bisa jadi merupakan hasil konstruksi dari media-media yang memiliki “framing” rasis terhadap masyarakat Afrika. Di sisi lain, hal ini tidak seimbang dengan framing media yang selalu menggambarkan negara Eropa atau negara maju lainnya dengan hal-hal yang baik-baik saja.

Selain itu, representasi masyarakat Afrika pada media-media di Indonesia sebagian besar mengenai berita kriminal. Hal ini menciptakan stereotype bahwa orang Afrika atau orang kulit hitam adalah penjahat dan kriminal. Satu hal lagi, perlu diingat bahwa Afrika adalah satu benua dengan sekitar 54 negara. Hal ini sama dengan benua Asia dan keanekaragaman masyarakat serta kondisi negaranya.

Ketimpangan antara Realita dan Informasi

Menurut opini saya, diskriminasi masyarakat Indonesia terhadap orang kulit hitam sebenarnya dipicu karena mismatch antara realita dan informasi yang diterima. Ketimpangan tersebut menciptakan suatu perspektif yang menyuburkan adanya prasangka dan selanjutnya, rasisme. Namun, tidak perlu berkecil hati. Masyarakat di Afrika Barat, khususnya Senegal, juga tidak memiliki informasi yang baik tentang Indonesia. Mereka hanya dapat mengingat Indonesia sebagai penyelenggara Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung dan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Mereka bahkan tidak tahu bahwa Indonesia masuk ke dalam negara-negara G20. Bahkan, Senegal memasukkan paspor Indonesia ke dalam kategori “C” yang mengimplikasikan “berbahaya” atau “bermasalah”.

Berdasarkan penjelasan saya tersebut, hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa diskriminasi dan rasisme tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Indonesia terhadap orang Afrika, tetapi orang Afrika sendiri, khususnya Senegal, terhadap masyarakat Indonesia. Penyebab dari hal ini adalah kurangnya informasi dan framing media yang masih menempatkan masing-masing negara dengan stereotype tertentu. Di lain pihak, masyarakat Indonesia dan Senegal masih memuja-muja negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat dan menganggap segala hal yang ada di sana adalah baik.

Studi Masyarakat Indonesia dan Jembatan Ketimpangan Informasi

Buku “Studi Masyarakat Indonesia” sangat bagus untuk memahami bagaimana struktur masyarakat dan sistem sosial di Indonesia menciptakan diskriminasi yang bahkan tidak pernah hilang hingga saat ini. Buku ini ditulis secara lengkap dari mulai asal mula masyarakat Indonesia hingga isu-isu terkini seperti penyelesaian konflik dan gender. Sebagai suatu buku dalam kajian sosiologi, buku ini dapat menjadi pilihan tepat untuk memahami mengenai masyarakat Indonesia dan dinamika di dalamnya.

Buku Handoyo et al. tidak menjelaskan mengenai diskriminasi dan ketimpangan informasi. Hal tersebut merupakan kesan saya setelah membaca buku tersebut dan pendidikan saya di bidang Ilmu Komunikasi. Dalam komunikasi interpersonal, dikenal Uncertainty Reduction Theory dimana hal tersebut saya aplikasikan ke dalam informasi yang saya dapat dari membaca buku “Studi Masyarakat Indonesia”.

Untuk menjembatani ketimpangan, perlu adanya uncertainty reduction yang dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan berlangsung secara resiprokal. Dalam konteks Indonesia dan Senegal, masyarakat kedua negara perlu berhenti berlaku ignorant dan berusaha mencari informasi yang benar untuk memperoleh gambaran yang tepat. Meski demikian, di akhir kesan saya terhadap buku Handoyo et al., secara akar dan sistem sosial masyarakat, orang Indonesia pada umumnya memang suka dengan diskriminasi dan “rasisme” karena adanya golongan mayoritas dan kemajemukan yang tidak memiliki kehendak bersama (common will). Jadi, tidak heran apabila rasisme dalam pikiran orang Indonesia terhadap orang Afrika mungkin juga berakar sistem sosial yang menyuburkan perilaku tersebut.

--

--