Pengalaman Tinggal di Senegal selama Sekitar Empat Bulan dari Sudut Pandang Negativisme

Christianty Dian
4 min readFeb 14, 2021
Antrian Pembeli Roti untuk Sarapan di Daerah Mermoz, Dakar

Bagi yang penasaran bagaimana rasanya tinggal di Afrika, saya akan menceritakan pengalaman saya tinggal di salah satu negara Afrika Barat selama kurang lebih empat bulan. Saya diharuskan pindah ke Senegal dikarenakan alasan pekerjaan dan memang saya tertarik untuk mengenal lebih dekat lagi masyarakat di Benua Hitam. Singkat cerita, tinggal di Afrika tidaklah seburuk yang orang-orang bayangkan dan banyak hal menarik yang dapat kita peroleh selama tinggal di sini.

Hal pertama yang saya pelajari setelah beberapa bulan tinggal di Dakar adalah biaya hidup di Senegal, terutama Dakar, cukup tinggi. Untuk akomodasi, rata-rata sewa apartemen adalah USD 500–1600 (sekitar Rp 7–22 juta) per bulan. Apartemen yang dibanderol dengan harga USD 500 biasanya tidak dilengkapi furnitur dan terletak di lokasi-lokasi yang agak kurang strategis. Apabila mencari apartemen dua kamar yang sudah dilengkapi furnitur dan bebas biaya lain, maka harus siap merogoh kocek minimal USD 1000–1600 (atau sekitar Rp 14–22 juta).

Harga itu masih kurang fantastis dibandingkan dengan apartemen yang terletak di pinggir pantai dengan view langsung ke laut dan akses khusus. Dengan fasilitas tersebut, kocek yang harus disiapkan adalah sekitar USD 3.000 (sekitar Rp 42 juta) per bulan untuk apartemen tanpa furnitur alias kosongan. Selain itu, biaya wi-fi, listrik, air, dan sebagainya masih belum termasuk. Namun, harga tersebut sudah mencakup biaya security 24 jam yang memang biasanya sudah disediakan oleh pemilik bangunan.

Hal lain yang agak menyebalkan bagi saya, yang orang Indonesia, adalah biaya agen. Senegal memiliki sistem agen properti yang mirip dengan agen di Eropa. Jadi, kegiatan sewa menyewa dilakukan melalui agen property. Kemudian pada bulan pertama, total biaya yang harus dibayarkan adalah 3 kali biaya sewa per bulan dengan rincian biaya 1 bulan untuk sewa, 1 bulan lainnya untuk biaya agen dan 1 bulan untuk deposit. Selain itu, tidak seperti di Indonesia, di sini agak sulit untuk menemukan apartemen yang disewakan langsung oleh pemilik, hampir semua menggunakan agen.

Berbicara mengenai agen di Senegal, ada satu hal yang membuat saya agak tergelitik dan geleng-geleng kepala. Saya pernah mencari apartemen dengan menggunakan suatu agen, tetapi ternyata agen ini memiliki agen lain yang kemudian juga menghubungi agen lainnya hingga akhirnya terhubung dengan sang pemilik rumah. Jadi, saya harus melewati 3 tahap agen sebelum dapat bertemu dengan pemilik. Dengan demikian, agen yang pertama menjanjikan sekian persen dari komisinya ke agen kedua, kemudian agen kedua melakukan hal yang sama kepada agen ketiga, dan seterusnya. Semakin banyak agen yang terlibat, maka semakin kecil komisi yang diterima oleh agen terakhir.

Hal kedua yang saya pelajari adalah bahwa roti, terutama baguette, sangat mudah ditemukan di Senegal dan merupakan makanan utama masyarakat di sini. Senegal merupakan negara bekas jajahan Perancis, sehingga tidak heran kalau baguette sangat mudah ditemukan di mana-mana dan merupakan makanan sehari-hari. Oleh karena itu, baguette dibanderol dengan harga sangat murah (sekitar XOF 150 atau kurang lebih Rp 3.800,00) dan dapat ditemukan dimana-mana. Bahkan, setiap pagi banyak pedagang kaki lima menjajakan makanan sejenis sandwich dengan menggunakan roti baguette dan isi-isian khas Senegal (sejenis lentils dan spaghetti, betul spaghetti!).

Selain baguette, banyak juga roti-roti khas Perancis lainnya, seperti croissant, pain de campagne, dan brioche. Akan tetapi, roti-roti tersebut biasanya hanya bisa ditemukan di bakery atau boulangerie dalam Bahasa Perancis. Selain itu, harganya juga cukup mahal jika dibandingkan dengan baguette. Oleh karena itu, baguette menjadi lebih banyak dikonsumsi dan dapat ditemukan di mana saja ketika berada di berbagai wilayah Senegal.

Terkait jam makan, orang-orang di sini biasanya sarapan sekitar pukul 09.00–10.00 pagi, kemudian makan siang pada jam 13.00–14.00. Sama seperti orang Perancis, jam makan siang adalah waktu makan besar dengan menu full course dan kesempatan berbincang yang panjang. Biasanya pekerja kantoran akan kembali dari jam makan siang sekitar pukul 15.00 dan hanya tinggal sejam lagi hingga waktu pulang kantor. Tentu saja, ada beberapa pengecualian. Banyak juga orang Senegal yang bekerja hingga larut malam, tetapi rata-rata orang Senegal memiliki work-life balance yang cukup baik. Karakteristik yang mungkin mereka warisi dari orang Perancis.

Selain rumah dan makanan, hal ketiga yang saya pelajari tentang bagaimana hidup di Senegal adalah cara berinteraksi dengan orang sekitar. Sebagai orang Indonesia yang dididik untuk selalu ramah, tidak suudzon, dan sopan, awalnya saya merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Pada dasarnya, orang-orang Senegal di Dakar cukup ramah dan suka berbasa-basi. Siapapun akan mereka sapa apabila berpapasan, meskipun tidak kenal (apalagi kalau melihat kita orang asing. Ngomong-ngomong di sini saya disebut white person meski kulit saya sawo matang). Akan tetapi, jangan salah ketika mulai berkomunikasi, cara berbicara mereka cenderung seperti marah-marah.

Mengapa saya bilang sulit? Saya dididik untuk berbicara pelan dan sopan. Hal ini tentu tidak cocok dengan budaya orang setempat yang berbicara dengan suara keras. Awalnya saya mengartikan cara bicara mereka sebagai sesuatu yang intimidatif. Di sisi lain, mereka melihat kelemahlembutan saya sebagai sesuatu yang lemah dan mudah dimanfaatkan. Selain itu, ukuran kesopanan orang Senegal sangat berbeda dengan orang Indonesia. Masyarakat Senegal sangat straightforward dan cenderung cuek. Mereka tidak terbiasa untuk melakukan sugarcoating. Sementara, saya tidak pernah menyatakan keinginan atau maksud saya secara langsung.

Hal ini membuat orang Senegal, dan Afrika lain pada umumnya, yang berkomunikasi dengan saya kesulitan menangkap maksud saya dan akhirnya terjadi miskomunikasi. Sepertinya, mereka memang tidak biasa membaca kode-kode atau pesan secara implisit, seperti yang banyak dilakukan orang Indonesia atau Asia pada umumnya. Jadi, apa yang diucapkan, itu yang akan mereka tangkap dan lakukan. Memang sedikit sulit, tetapi dari situ, saya belajar untuk berkomunikasi secara efektif dan berbicara dengan keras. Yha, ternyata orang Senegal itu gak peka. Kayak mantan aja.

--

--